Recent Posts

Thursday, November 24, 2016

Kajian Metodologi Buku Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara

1.  
            Identitas Buku
Penulis                         : Nina H Lubis
Kata Pengantar            : Taufik Abdullah
Penerjemah                  : Drs. Azmi, MA., Ph.D dan Drs. Zulfahmi, Dipl. I. T.Ed
Penerbit                        : Pustaka LP3S Indonesia
Tahun Terbit                 : 2004
Tempat Terbit              : Jakarta

2.      Biografi Penulis
Nina Herlina Lubis adalah seorang doktor sejarah di Jawa Barat dan dilahirkan di Bandung 9 September 1956. Ia mengenyam pendidikan pertama kali di Sekolah Dasar Negeri Cibuntu Bandung (1968), Sekolah Menengah Pertama Negeri I bandung (1971), dan Sekolah Menengah Negeri 3 Bandung (1974). Setamat SMA, ia melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (1975), tetapi ia tidak betah kuliah di sana dan pindah ke Jurusan Sejarah yang memang menjadi impiannya. Mula-mula ia kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatra Utara (1978-1980), kemudian diselesaikan di Universitas Padjajaran Bandung (1984). Program S-2 Bidang Studi Sejarah diselesaikannya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta selama 4 semester dengan yudisium cum laude (1990) dengan tesis yang berjudul Bupati R.A.A. Martanagara; Studi Kasus Elite Birokrasi Pribumi di Kabupaten Bandung (1893-1918) yang sudah diterbitkan sebagai buku (2001). Gelar Doktor Sejarah diperolehnya dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1997) dengan predikat cum laude. Disertasinya yang berjudul Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1942) sudah diterbitkan menjadi buku (1998). Bukunya yang lain adalah Historiografi Barat (1999). Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda (2000), serta Sejarah Kot-Kota Lama di Jawa Barat (editor dan penulis) (2000), Sejarah dan Budaya Politik (2002). Saat ini Nina bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan di Program Pasca Sarjana Unpad, dan menjadi Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia cabang Jawa Barat (2000-sekarang). Sejak Februari 2001, ia manjadi Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad. Selain itu, ia juga menjadi Ketua Majelis Taklim Riyaadlul-Jannah yang juga mengelola panti asuhan di Jatinangor.


3.      Isi Buku
Buku ini menjelaskan tentang sejarah Banten sejak masa pra sejarah hingga terbentuknya provinsi Banten  dengan menitikberatkan pada sisi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu dijelaskan pula tentang peranan Sultan, Ulama, dan Jawara pada kehidupan masyarakat Banten. Alasan penulis tertarik mangangkat Sejarah Banten sebagai objek penulisannya karena Banten merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memilikik sejarah yang panjang dan mempunyai pengaruh pada perkembangan sejarah Indonesia. Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan Banten, yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas Banten Girang. Pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin, menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibu kota atau pakuan (berasal dari kata pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.  Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Lampung.
Jadi, Banten kaya sekali akan sejarahnya dan sempat menjadi salah satu kota pelabuhan di Indonesia. Dalam perlawanan terhadap tentara Belanda pun, Banten ikut terlibat dimana pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, pihak tentara Belanda mengakui kegigihan dan keberaniaannya dalam usaha mempertahankan Wilayah Banten. Karena memang susah dikalahkan maka Belanda pun menggunakan politik adu domba untuk mengalahkan Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu, ada juga bentuk perlawanan terhadap tentara Jepang yang dipimpin oleh Ce Mamat.
Tema buku ini adalah penggambaran secara keseluruhan mengenai sejarah Banten dari awal prasejarah hingga terbentuknya provinsi Banten. Selain itu, diungkapkan pula mengenai keterhubungan peran sultan, ulama, dan jawara yang sangat penting pada saat itu bagi kehidupan masyarakat Banten.Buku ini terdiri dari 10 bagian yaitu:

Bagian 1: Masa Prasejarah
            Berisi tentang budaya prasejarah dengan diawali masa berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, budaya megalitik, tradisi gerabah dan masa perundagian. Jadi, pada bab ini dijelaskan peninggalan masa prasejarah di berbagai tempat di wilayah Banten dengan dipaparkan pula bukti yang ada. Contohnya Di Cigeulis, Pandeglang telah ditemukan kapak perimbas, alat penetak, pembelah, dan alat serpih. Di samping itu ditemukan pula lukisan gua di Sanghiyang Sirah, Ujung Kulon. Hal Ini menunjukkan bahwa manusia waktu itu hidup di gua-gua. Pada tahap akhir dari kehidupan masa berburu dan mengumpulkan makanan itu, memang diasumsikan orang sudah mulai hidup di gua-gua walaupun tidak tetap. Gua-gua tempat tinggal sementara itu biasanya berada tidak jauh dari danau atau aliran sungai yang memiliki sumber-sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput

Bagian 2: Masa Hindu-Budha
            Berisi tentang kehidupan pada masa sebelum adanya Kerajaan Tarumanegara, selanjutnya pada masa Kerajaan Tarumanegara, dan ditutup pada masa Kerajaan Sunda. Sumber asing pertama yang secara samar-samar berkaitan dengan Banten adalah sumber tertulis yang berasal dari Yunani, yaitu Geogyaphike Hyphegesis karya Claudius Ptolemaeus. Dalam sumber ini disebutkan tentang sebuah tempat bernama Argyre yang terletak di ujung labadiou. Istilah labadiou dalam bahasa Sanskerta adalah Yawadwipa yang berarti 'pulau jelai'. Yawadwipa itu dianggap sama dengan Jawa; dan karena aygyre berarti `perak', sementara di ujung barat Pulau Jawa terletak sebuah kota bernama Merak, biasanya Merak itulah yang dimaksudkan dengan argyre dalam berita Yunani itu. jika dugaan itu benar, maka seharusnya dilakukan koreksi atas nama kola itu, bukan merak yang berarti ‘burung merak', melainkan merak yang berarti 'memerak, putih seperti perak'. Dijelaskan pula tentang berita Cina yang mengabarkan tentang adanya kerajaan Tarumanegara. Selain itu, dijelaskan pula mengenai peninggalan-peninggalan dari kerajaan Tarumanegara dan Sunda.

Bagian 3: Kesultanan Banten
Membahas tentang Awal Berdirinya kesultanan Banten. Dalam laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada di kawasan Kerajaan Sunda (Cortesao,1944). Kesaksian Tome Pires itu dapat dijadikan petunjuk bahwa bandar Banten sudah berperan sebelum berdirinya Kesultanan Banten (1526), atau pada masa Kerajaan Sunda. Bisa diduga bahwa Banten telah berdiri sekurang-kurangnya pada pertengahan abad kesepuluh atau bahkan abad ke-7. Selanjutnya dibahas mengenai sultan yang memimpin pada masa kesultanan Banten, yaitu: Sultan Maulana Hasanudin (1552-1570), Maulana Yusuf (1570-1580), Maulana Muhammad (1580-1596), dan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1652). Pada bab ini sangat kompleks sekali, dimana dijelaskan tentang kemajuan dan kemunduran kesultanan Banten, adanya konflik dengan Mataram dan VOC, hingga kisah politik adu domba VOC terhadap Sultan Ageng Tirtayasa.

Bagian 4: Banten dan Kompeni
Membahas tentang ekspedisi dagang kompeni, politik kompeni, reaksi Banten, Perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, kehidupan perekonomian, penanaman wajib komoditas perdagangan, kehidupan sosial budaya, demografi, dan stratifikasi sosial, kehidupan agama dan kepercayaan, dan bahasa, tulisan dan kesusatraan. Jadi, pada bab ini lebih memfokuskan keadaan Banten pada saat itu dengan diawali datangnya pedagang asing selain dari Belanda yaitu: Inggris, Perancis, Portugis, dan Denmark ke Banten. Selanjutnya memaparkan tentangkehidupan masyarakat Banten dan perlawanannya terhadap VOC

Bagian 5 : Keresahan Abad Ke-19
Membahas tentang pemerintahan Kesultanan akhir abad ke-18, perubahan politik dan sistem kolonial, kesultanan Banten menjadi daerah jajahan, kehidupan perekonomian, gerakan sosial di Banten yang terdiri dari gerakan di Cikandi Udik (1845), gerakan di  Ciomas (1886), dan gerakan di Cilegon (1888), kehidupan sosial budaya pendidikan, dan munculnya jawara. Khusus pembahasan pada materi yang terakhir ini, dalam perkembangannya kemudian, kata "jawara" (juara) lalu dikonotasikan negatif, misalnya disebut sebagai singkatan dari "jalma wani rampog" (orang yang berani merampok) atau "jalma wani rahul" (orang berani bohong, menipu) (Kartodirdjo, 1984:43). Bahwa citra ini terus terbawa hingga abad ke-20, dapat dilihat dalam memorie van overgave (memori serah jabatan) Residen Banten, F.G. Putman Craemer, 24 Februari 1931, yang melaporkan bahwa golongan jawara berasal dari apa yang disebut orok lanjang yang ada di Distrik Menes. Orok lanjang adalah organisasi pemuda yang tadinya bertujuan tolong-menolong, misalnya bila ada orang mengadakan hajatan, mereka membantu penyelenggaraannya. Lama-kelamaan, bila ada orang menyelenggarakan hajatan, mereka harus diundang dan diserahi tugas penyelenggaraannya. Bila tidak demikian, mereka akan mengacau pesta. Organisasi semacam ini kemudian meluas ke luar Menes dan menjadi organisasi tukang pukul yang disebut jawara. Mereka menjadi kelompok yang ditakuti masyarakat, kaum pangreh praja pun tidak berani bertindak keras terhadap mereka. Menurut Residen Banten ini, sejak tahun 1916, para pejabat pangreh praja bila datang ke pesta mesti membawa senjata api karena takut diganggu mereka. Akibatnya, etos "kejuangan, membela kebenaran, kepahlawanan", yang sebenarnya dimiliki kaum “jawara" terkontaminasi dengan etos "premanisme”. Seorang jawara yang kemudian memdalami agama disebut jawara ulama, sedangkan ulama yang merangkap menjadi jawara, kemudian disebut ulama jawara. Tokoh-tokoh semacam inilah yang disegani masyarakat sehingga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Kepemimpinan didasarkan atas consensus di antara para jawara. Umumnya senioritas menentukan siapa yang akan menjadi "yang dituakan" atau "kokolot"

Bagian 6: Dinamika awal abad ke-20

          Membahas tentang politik etis, otonomi pemerintahan, perkembangan pemerintahan otonom, pergerakan nasional, dan pergerakan pers. Dijelaskan pula mengenai sekolah pertama yang didirikan di Serang sekitar tahun 1907. Selanjutnya dijelaskan pula mengenai karesidenan Banten, Batavia, Cirebon, dan Priangan. Pada masa pergerakan nasional Pada tahun 1928, para pemuda Banten mendirikan organisasi kepemudaan di Batavia, yang dinamai Budi Banten, dan di Bandung didirikan pula organisasi sejenis yang disebut Tirtayasa. Antara bulan Februari hingga Mei 1940, pemerintah Hindia Belanda mematahkan gerakan kaum jawara yang terdiri dari 175 orang. Maksud gerakan mereka adalah untuk mengembangkan organisasi jawara yang oleh pemerintah kolonial dianggap sebagai kelompok perusuh. Selanjutnya ditutup dengan sejarah pers di Banten.


Bagian 7: Pendudukan Jepang

          Membahas tentang masuknya tentara Jepang di daerah Banten, kehidupan sosial-budaya dan ekonomi, organisasi semimiliter dan kepemudaan, lahirnya PETA. Secara keseluruhan bab ini menjelaskan kedudukan dan peran Jepang pada masyarakat Bante. Selain itu, dijelaskan pula mengenai usaha perlawanan yang dilakukan oleh Ce Mamat dengan gerakan bawah tanahnya yang bernama Joyo Boyo. Tetapi, pada akhir tahun 1943 gerakan tersebut tercium pemerintah militer Jepang. Ce Mamat ditangkap dan dijebloskan ke penjara bersama dengan beberapa temannya. la dikurung dan disiksa di Markas Kempetai di Serang. Dari sana ia dipindahkan ke Markas Kempetai Pusat di Tanah Abang Jakarta dan baru dibebaskan beberapa hari setelah Indonesia merdeka. Dua orang lainnya yaitu H. Sinting dari Kaujon Serang (mantan Digulis) dan Hidayat meninggal dunia di penjara. Pengalaman buruk yang dialami Ce Mamat, ternyata menimbulkan dendam dan kebencian yang dalam bukan hanya terhadap orang-orang Jepang, melainkan juga kepada para pejabat dan polisi orang Indonesia yang dianggap kaki-tangan Jepang


Bagian 8: Di Tengah Gejolak Revolusi

          Membahas tentang proklamasi kemerdekaan, berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR), pemberontakan Ce Mamat, menjelang agresi militer, pemerintahan kaum Ulama, dan masyarakat Banten di tengah revolusi. Pada bab ini dijelaskan pula mengenai peran ulama pada pemerintahan di Banten. K H Acmad Chotib pada saat itu menjabat sebagai Residen Banten dan pada masa kepemimpinannya, NICA menghembuskan isu seakan-akan Kesultanan Banten akan dihidupkan kembali dengan Residen Banten sebagai sultannya. Isu ini dibantah oleh K.H. Achmad Chatib ketika ia berkunjung ke Yogyakarta. Untuk membatasi ruang gerak Residen Banten, maka diangkatlah Mas Yusuf Adiwinata sebagai wakil Gubernur Jawa Barat yang berkedudukan di Serang. Selain itu, para kiai perlahan-lahan digeser ke jawatan yang berkaitan dengan keahlian mereka seperti Jawatan Keagamaan dan Jawatan Penerangan. Beberapa pejabat profesional dikirim pula oleh pemerintah pusat. Sementara itu, Kolonel Soekanda Bratamanggala dikirim ke Banten menggantikan Kolonel K.H. Syam'un yang menjadi Bupati Serang.


Bagian 9: Proses Menuju Provinsi

            Membahas tentang kondisi politik tahun 1990-an, embrio gerakan, langkah awal, lahirnya orde baru, dan peluang baru. Pada tahun 1953, untuk pertamakalinya dimunculkan keinginan masyarakat Banten untuk meningkatkan status wilayahnya dari Karesidenan menjadi provinsi sendiri yang terpisah dari Jawa Barat. Keinginan ini muncul berkaitan dengan diberikannya status Daerah Istimewa Yogyakarta dan munculnya tuntutan yang sama dari Aceh. Masyarakat Banten merasa bahwa Banten juga memiliki keistimewaan, yaitu tidak pernah menyerah kepada Belanda, pernah berdiri sendiri karena diblokade Belanda sampai mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun 1949. Hanya saja keinginan ini tidak mendapat tanggapan serius. Selanjutnya pada tahun 1963, Bupati Serang, Gogo Sandjadirdja, mengadakan acara halal-bilhalal dengan tokoh-tokoh masyarakat Banten di Pendopo Kabupaten Serang. Tokoh-tokoh yang datang bukan saja dari Banten., tetapi juga dari daerah Jasinga-Bogor. Setelah acara halal-bilhalal usai, dilanjutkan dengan rapat. Dalam rapat itulah untuk pertama kalinya dicetuskan gagasan tentang perlunya Karesidenan Banten menjadi provinsi sendiri. Gagasan ini kemudian diwujudkan dengan membentuk Panitia "Pembentukan Provinsi Banten" (PPB).


Bagian 10:Pembentukan Provinsi Banten

           Berisi tentang lahirnya orde reformasi, berdirinya Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten (Bakor-PPB), sikap pemerintah provinsi Jawa Barat, dan terakhir lahirnya Provinsi Banten. Jadi, secara keseluruhan Pada bab ini dijelaskan mengenai perjuangan tokoh-tokoh Banten dalam  membentuk provinsi Banten. Isu tentang Provinsi Banten terus bergema. Para tokoh Banten berusaha mendapatkan dukungan dari Mendagri. Kelompok Jakarta dan para tokoh Banten lainnya mendapat kesempatan untuk bertemu Mendagri Suryadi Sudirja, setelah Menteri meresmikan pameran lukisan di Hotel Bidakara, Jakarta pada tanggal 3 Desember 2000. Dalam pertemuan yang dilakukan di restoran hotel tersebut, para tokoh Banten yang hadir adalah Tb. Farich Nahril, H. Mardini, H.Uwes Qorny, K.H. Irsyad Djuwaeli, Aly Yahya, HMA Tihami, dan H. Tb.Chasan Sochib. Mendagri memberikan saran bila rakyat Banten memang sudah bulat keinginannya untuk mendirikan provinsi sendiri, agar ditempuh cara-cara sesuai prosedur yang berlaku. Isu PPB terus bergulir dalam berbagai pertemuan formal maupun informal seperti pengajian, training pangkaderan aktivis, dalam seminar, diskusi serta pertemuan para ulama dan berbagai kalangan lain. Pada hari Rabu, 4 Oktober 2000, ribuan masyarakat Banten, mulai dari ulama, mahasiswa, anggota LSM, seniman, memadati halaman Gedung DPR RI Senayan. Berbagai atraksi pertunjukan tradisional Banten, seperti debus, silat, rebana digelar di Jakarta yang cerah. Suasana meriah di luar gedung diimbangj dengan suasana serius di dalam gedung. DPR RI hari itu mengadakan Rapat Paripurna yang ditunggu-tunggu masyarakat Banten. Setelah mendengarkan pandangan akhir dari fraksi-fraksi yang ada, maka rapat yang berlangsung dari pukul 9.00 berakhir pukul 13.30 dengan puncak acara pengesahan RUU Pembentukan Provinsi Banten menjadi Undang-Undang no 23 tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Semua fraksi DPR RI menyetujui secara bulat pengesahan itu.
4.      Sumber Data
Secara umum dapat dimengerti bahwa penelitian sejarah merupakan penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis. Dengan kata lain yaitu penelitian yang bertugas mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi pada waktu penelitian dilakukan. Penelitian sejarah di dalam pendidikan merupakan penelitian yang sangat penting atas dasar beberapa alasan. Penelitian sejarah bermaksud membuat rekontruksi masa latihan secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, mengverifikasikan serta mensintesiskan bukti-bukti untuk mendukung bukti-bukti untuk mendukung fakta memperoleh kesimpulan yang kuat. Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa, waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong objek-objek yang diobservasi. Dengan begitu, diperlukan sumber sejarah dalam melakukan kajian ilmu sejarah.
Buku ini menggunakan sumber data berupa arsip – arsip dan wawancara (Primer). Tetapi sumber primer tersebut hanya dituliskan di catatan kaki setiap halaman pembahasan. Contoh sumber primer tersebut yang terdapat di dalam buku ini adalah:
Sumber wawancara:
1. Wawancara dengan Tb. H,Farich Nahril, tanggal 19 Agustus 2003
2. Wawancara dengan Tb.H. Tryana Sjam un, tanggal 19 Agustus 2003
Sumber Arsip

1. ANRI,1988.
2. Gedenkboek Pagoejoeban Pasoendan, t.t.
3. Daghregister, 2 Juli 1641.
4. 25 Oktober 1677,
5. Daghregister, 5 Oktober 1705.
6. Handboek Indanesische Onderwijzers Bond. 1942.
7. Indonesia. Arsip Nasional.1973.
8.Ikhtisar Keadaan Politik Hindia‑Belanda Tahun 1839‑1848, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No.5. Jakarta.
9. "Ondezoek naar mindere welvaart der Inlandsche bevolking van Java en Madoera, Deel 1X b3,1914.
10. RegeringsAlmanak voorNederlandsch‑Indie.1905.

11. RegeringsAlmanak voor Nederlandsch Indie.1921.

12. RegeringsAlmanak voorNederlandsch Indie.1928.
13. RegeringsAlmanak voorNederlandsch‑Indie.1928.
14. Volksalmanak Soenda,1919
Surat Kabar dan Majalah

1. Asia Raja, 9 Juli 1942,1 Pebruari 1943.
2. Forum Keadilan. Nomor 5. Tahun VII. 15 Juni 1998; Maret 2000.
3. Kenpo,1942, No. 28, 2603.
4. Kompas. 26 Mei 1998; 29 Mei 1998; 30 Mei 1998; 26 Oktober 2000.

5. Pandji Poestaka 2,11 April 1942.
6. Pikiran Rakjat, 19Agustus 1999, 20 Agustus 1999, 30 Oktober 1999, 21 Desember 1999, 23 Desember 1999, 4 Maret 2000, 23 Maret 2000,15 Mei 2000.
7. Priangan Shuu, 20 Agustus 2605.
8. Republika,ll Oktober 2000.
9. Soeara Merdeka, 6 Oktober 1945, 9 Oktober 1945.
10. Tjahaja,16 Juni 1942, 20 Juli 1942, ,16 Oktober 1943, 23 Agustus 1945
11. Warta Bandung, 2 Januari 1957.
12. Warta Propinsi Banten, Edisi I/2000, Edisi 11/2000.
Untuk sumber sekunder berupa buku baik terbitan dalam dan luar negeri, ada juga berupa jurnal, artikel, dan tesis serta disertasi.
5.      Kajian Kritis Metodologi
Sebelum melakukan penelitian sejarah, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan topik yang akan diteliti. Topik yang diteliti haruslah merupakan topik yang layak untuk dijadikan bahan penelitian dan bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian sebelumnya. Kelayakan topik penelitian dapat dilihat dari ketersediaan sumber yang dapat dijadikan bahan untuk penelitian. Jangan sampai kita menetapkan topik yang menarik tetapi sumbernya ternyata tidak ada. Berbeda dengan penelitian ilmu pengetahuan lainnya, penelitian sejarah sangat tergantung kepada ketersedian sumber. Jadi topik yang diteliti harus merupakan hal yang baru dan diharapkan dapat memberikan informasi yang baru atau ditemukan teori baru.
Pemilihan topik harus memperhatikan hal-hal berikut :
1. Menarik untuk diteliti
2. Asli, bukan merupakan pengulangan
3. Ketersediaan sumber
4. Kedekatan emosional, misalnya yang berhubungan dengan lingkungan sekitar kita
Pemilihan topik ini sangat penting agar peneliti lebih terarah dan terfokus pada masalahnya. Untuk mengarahkan, dalam topik tersebut sebaiknya kita ajukan terlebih dahulu pertanyaan yang akan menjadi masalah yang akan diteliti. Pertanyaan itu meliputi: what (apa), why (mengapa), who (siapa), where (dimana), when (kapan), dan how (bagaimana).
Kuntowijoyo dalam bukunya Pengantar Ilmu
1. Pemilihan Topik.
Dalam memilih topik penelitian, sebaiknya berdasarkan: (1) kedekatan emosional dan (2) kedekatan Intelektual. Kedekatan emosional maksudnya adalah bahwa topik yang kita pilih dalam melakukan penelitian adalah topik yang kita senangi. Sedangkan yang dimaksud dengan kedekatan intelektual adalah kita telah menguasai topik yang kita pilih, kalaupun belum menguasainya maka kita perlu membaca literature yang berkaitan dengan topic pilihan kita.
2. Pengumpulan Sumber.
Sumber yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan tulis. Misalnya, kita sedang melakukan penelitian sejarah sebuah keluarga maka sumber yang kita gunakan berupa sumber tertulis, tidak tertulis dan sumber kuantitatif.
Sumber
3. Verifikasi.
Setelah kita mengetahui secara persis topik kita dan sumber sudah dikumpulkan, maka tahap berikutnya ialah verifikasi, atau kritik sejarah, atau keabsahan sumber. Verifikasi itu ada dua macam: otentisitas, atau keaslian sumber, atau kritik ekstern, dan kredibilitas, atau kebisaan dipercayai, atau kritik intern.
4. Interpretasi.
Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subyektivitas. Subyektivitas penulis sejarah diakui keberadaannya. Interpretasi itu ada dua macam, yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan. Kadang-kadang sebuah sumber mengandung beberapa kemungkinan. Misalnya, kita temukan daftar pengurus suatu ormas di kota. Dari kelompok sosialnya, kita baca di situ ada petani bertanah, pedagang, pegawai negeri, petani tak bertanah, orang swasta, guru, tukang, mandor, kita dapat menyimpulkan bahwa ormas itu terbuka untuk semua orang. Jadi bukan khusus petani bertanah, tetapi juga untuk petani tak bertanah, pedagang, pegawai negeri, dan sebagainya. Setelah anaisis itu kita temukan fakta bahwa pada tahun itu ormas tertentu bersifat terbuka berdasarkan data yang kita peroleh dan kita cantumkan. Sintesis berarti menyatukan. Setelah ada data tentang pertempuran, rapat-rapat, moilisasi massa, penggantian pejabat, pembunuhan, orang-orang mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera, ditemukan fakta bahwa telah terjadi revolusi. Jadi, revolusi adalah hasil interpretasi setelah data-data dikelompokkan menjadi satu.
5. Penulisan.
Dalam penulisan sejarah aspek kronologi sangat penting. Setiap periode harus ada driving force masing-masing. Misalnya, peranan pendidikan untuk periode pertama, peranan organisasi politik untuk periode kedua, peranan miter untuk periode ketiga, dan peranan organisasi ekonomi untuk periode keempat.
            Penulisan sejarah hanya merekam sebagian kecil peristiwa yang dialami manusia. Karenanya, peristiwa sejarah terbagi menjadi dua : sejarah sebagai peristiwa itu sendiri (objektif) dan sejarah sebagai peristiwa yang dikisahkan oleh sejarawan (subjektif). Bila kita telusuri tulisan-tulisan sejarah, maka kita akan menemukan tiga aspek yang menonjol dalam sejarah yaitu sosial, ekonomi dan politik. Aspek sosial dalam sejarah pasti ditemukan karena objek dan subjek sejarah adalah manusia, sejarah adalah berkenaan dengan hidup dan kehidupan manusia, perkembangan peradaban manusia. Hidup manusia tidak terlepas dari Struggle of life upaya mempertahankan hidup maka yang muncul dalam sejarah adalah aspek ekonomi, karena ekonomi memberikan peran penting bagi keberlangsungan hidup manusia.
Seperti halnya, pada buku yang ditulis oleh Nina H Lubis ini dimana mencakup ketiga hal tersebut, yaitu politik, sosial, dan ekonomi. Dalam buku ini pun pemaparannya sangat bagus sekali karena dijelaskannya secara deskriptif-kronologis. Jadi pembaca paham dengan apa yang dimaksud penulis. Selain itu, sumber-sumber yang dipakai pun sangat relevan dan mendukung terhadap penelitian ini. Hanya saja dalam buku ini kurang terdukungnya dengan teori yang dijadikan sebagai landasan.

1 comments:

  1. Suka artikel kamu gan.. Terima kasih infonya ya ... Kerenn..

    Sudah tahu Sabung Ayam S128 ? Adu Ayam Online Live Filipina.. Ingin nonton ? Langsung saja Klik kata Login S128 di samping ini ya :) Login S128

    ReplyDelete