Recent Posts

Tuesday, November 22, 2016

Historiografi Eropa Kuno

 



Historiografi atau penulisan sejarah dalam ilmu sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan penelitian sejarah. Dengan historiografi, kita dapat melihat suatu perkembangan peradaban manusia, termasuk di dalamnya menggugah kreatifitas manusia untuk mengembangkan peradaban.  Setiap bangsa di dunia mempunyai sejarah dari penulisan sejarah yang berbeda-beda dan mempunyai karakteristiknya masing-masing. Karena adanya perbedaan ini, setiap bangsa di dunia tidak mengalami waktu yang sama saat mengenal tulisan, maka awal pengenalan sejarah tertulis juga tidak sama. Bagi yang sudah lama mengenal tulisan, sejarah penulisan sejarah mereka juga sudah mempunyai tradisi yang lama. Tetapi bagi bangsa-bangsa yang baru mengenal tulisan, sejarah penulisan sejarah mereka relatif baru.
Dalam perkembangannya, historiografi memuat teori dan metodologi sejarah. Segala sesuatu pastilah berasal dari yang paling rendah, begitu pula historiografi Eropa yang diawali dari historiografi kuno. Historiografi Eropa Kuno jauh berbeda dari historiografi tradisional seperti yang terjadi di Indonesia maupun negara-negara lain. Hal in dikarenakan dalam historiografi kuno tidak mengutamakan mitos dan theogoni. Orang-orang Yunani lebih mengutamakan rasionalis dan demokrasi. Dan yang jelas bahwa historiografi Eropa Kuno berorientasi pada perkembangan. Dalam historiografi Eropa kuno mengakar kuat rasa patriotisme sehingga tulisannya pun banyak mengangkat tentang perang dan kejayaan suatu imperium. Sebelum adanya historiografi Eropa kuno, suatu sejarah pada awalnya berbentuk lisan atau yang lebih dikenal dengan tradisi lisan. Akan tetapi setelah manusia mengenal tulisan maka penyampaian sejarah ini pun berubah menjadi tradisi tulis. Penulisan awalnya masih berbentuk puisi atau syair. Bentuk ini kemudian berubah menjadi prosa setelah adanya usaha penulisan sejarah oleh Herodotus. Selanjutnya pada bab ini akan dibahas mengenai Periodesasi Historiografi Eropa Kuno, tokoh-tokoh dalam Historiografi Eropa Kuno, dan kekurangan dari Historiografi Eropa Kuno.
Periodesasi Historiografi Eropa Kuno
Pengertian klasik umumnya diberikan kepada semua hasil peradaban Yunani dan Romawi kuno. Sebutan ini diberikan oleh mereka yang hidup dan mendukung kebudayaan masa Renaissance dan yang menjadikan Yunani dan Romawi kuno sebagai rujukan mereka. Sebaliknya oleh para gerejawan Kristen yang hidup pada masa Abad pertengahan, kebudayaan Yunani dan Romawi ini dinilai sebagai hasil kebudayaan “pagan”, kebudayan “kafir” dari orang-orang yang belum beragama Kristen (Sjamsudin, 2011:3). Selanjutnya akan dibahas mengenai Historiografi pada zaman Yunani dan Romawi.
Historiografi Yunani Kuno
            Setiap generasi dari suatu zaman itu senantiasa menghasilkan sejarah atau kisahnya sendiri. Demikian juga setiap sejarawan dari suatu zaman menghasilkan karya-karya sejarahnya yang khas. Hal ini dilatarbelakangi oleh kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang unik dari zamannya.  Namun demikian dari banyak sejarawan Yunani kuno yang menghasilkan karya-karya mereka, ternyata masih bisa dibedakan dalam kelompok-kelompok sejarawan tertentu.
Para sejarawan Yunani pada umumnya berasal dari lingkungan orang berada atau yang secara material berasal dari kalangan masyarakat yang posisi ekonominya baik. Di samping itu beberapa sejarawan nampaknya telah menjalani masa kehidupan mereka sebagai pengarang, atau bahkan sebagai ilmuwan. Akan tetapi kebanyakan dari mereka  adalah para politikus, pegawai, militer, dokter (tabib) atau guru, dan  pada waktu yang sama atau sesudahnya juga masih tetap menjalankan pekerjaan penulisan sejarah. Sejarawan Yunani nampaknya juga memiliki atau menikmati status  yang relatif bebas.  Kadang-kadang kebebasan intelektual itu lebih banyak mengakibatkan pengusiran atau pengasingan, akan tetapi pengasingan itu pada gilirannya memberikan jalan bagi kebebasan mereka. (Supriyono, 2003:7)
Dalam mengkisahkan sejarah masa lampau yang jauh ke belakang, para sejarawan Yunani pada umumnya mendasarkan pada cerita rakyat dan kisah-kisah yang disampaikan secara turun menurun atau atas karya para penulis terdahulu, yang sesungguhnya juga berasal dari  para penulis-penulis yang mendahuluinya. Namun demikian sejauh bisa diketahui, tradisi penulisan sejarah yang paling awal pada zaman Yunani kuno adalah apa yang disebut dengan istilah tradisi Homerus, kemudian disusul dengan munculnya para Logograaf , dan yang terakhir zaman keemasan historiografi Yunani kuno.
Seringkali penyair Homerus yang hidup kira-kira pada abad ke-10 SM dianggap sebagai pelopor sejarah di dunia Barat meskipun menurut ukuran modern sekarang kedua epos dalam bentuk puisi yang ditulisnya yatu Iliad dan Odyssey bukanlah benar-benar sejarah yang baik. Meskipun ia memberikan juga beberapa aspek sejarah dari zamannya dalam tulisan-tulisan tersebut sebagaimana terbukti kemudian dari hasil-hasil ekskavasi situs kota Troya di Asia Kecil (Turki sekarang), namun Homerus tidak dapat melepaskan diri dari peran dewa-dewa yang amat menentukan sehingga hasil karyanya itu lebih merupakan legenda dan mitos daripada karya-karya sejarah sesungguhnya yang objektif. (Sjamsudin, 2011:4)
Iliad bercerita tentang peperangan mati-matian antara orang-orang Yunani melawan orang-orang Troya karena Paris putra Raja Troya melarikan Helen istri Raja Sparta. Orang-orang Yunani mengejar untuk membalas dendam dan mengepung kota Troya selama sepuluh tahun. Akhirnya kota itu berhasil direbut dengan siasat menggunakan kuda kayu raksasa yang diusulkan oleh pahlawan dan juga salah seorang raja Yunani bernama Ulysses (Odysseus). Adapun Odyssey menceritakan tentang pengembaraan Odysseus setelah kota Troya jatuh. Ia kembali ke kampung halamannya di Ithaca yang telah lama ditinggalkannya dan membalas dendam terhadap bangsawan-bangsawan yang telah mencoba merebut tahtanya.
Perkembangan menuju ke penulisan sejarah sebenarnya memerlukan waktu yang cukup lama. Pada abad ke-6 SM merupakan masa transisi intelektual yaitu ketika orang Yunani mulai meninggalkan pikiran-pikiran dalam puisi dan mulai menulis dalam bentuk prosa. Sebutan kepada para  penulis prosa disebut juga dengan logograf. Tulisan-tulisan mereka berisikan tentang dongeng/ cerita rakyat, genealogi dari keturunan orang termasyur, sejarah pendirian kota-kota, bangsa-bangsa dan juga lukisan atau cerita mengenai keadaan geografis atau etnografi dari negeri-negeri asing. Semua ini menjadi sumber-sumber sejarah sebelum Herodotus tampil. Akan tetapi sejauh ini yang dapat diketahui hanya sedikit, beberapa di antara mereka adalah:
-         Cadmus dari Milete yang menulis Ktisis Miletou, atau sejarah pendirian kota tersebut (Milete).
-     Dionysius juga dari Milite, yang menyusun sejarah mengenai Persia sesudah Darius ( dengan suatu gambaran mengenai daerah pemukiman).
-       Charon dari Lampsacus, yang disamping menulis mengenai mytologi,  juga mengenai perang-perang Persia (Persika).
-        Acusilaus dari Argus yang menyusun Genealogi yang menghubungkan munculnya cosmos dan sejarah manusia dengan dunia para dewa. (Supriyono, 2003:13)

Selain dari beberapa logograf tersebut ada juga seorang logograf yang memberikan kontribusi yang penting, yaitu Hecataeus. Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan lama pada sekitar 550 SM di Milete. Pada waktu terjadi pemberontakan orang Ionis (Turki) terhadap Persia sekitar tahun 500 SM, ia adalah penasehat dari polis di Milete. Ia juga telah banyak mengadakan perjalanan, antara lain ke Asia kecil, Negeri Yunani, dan Mesir. Inilah barangkali yang membuat ia menulis Periegesis atau pereiodos, yang berarti perjalanan keliling dunia. Data-data yang dikumpulkan meliputi etnografi, geografi dan sejarah lama negeri-negeri yang dikunjungi di Eropa dan Asia. Disamping itu ia juga menulis genealogi, sebuah karya prosa sejarah Yunani. Buku yang ditulis sekitar tahun 500 SM itu berbentuk semacam daftar silsilah/ keturunan manusia (raja) yang sampai kepada Tuhan/ dewa, dengan masa lampau yang sangat legendaris.
Penulis logograf terkenal  lainnya adalah Hellanicus dari Mytilene (Lesbos), yang  hidup sekitar akhir abad V dan meninggal sekitar tahun 400 SM. Beberapa di antara karya Hellanicus berbetuk mitografi (mitologi yang sudah dituliskan), yaitu mengenai awal terjadinya atau adanya manusia dan mengenai sejarah kota Troya.  Di samping mitografi ia juga menulis etnografi yang berisi sejarah negeri-negeri bar-bar (di luar Yunani) seperti Aigyptiaka, Skythika, Persika dan sebagainya). Ia juga menulis chronografi dan sejarah berdirinya kota-kota seperti  Roma oleh Aeneas, Atthis atau Attica (Atena dan sekitarnya).
Historiografi Romawi Kuno
Sejarah awal Romawi sangat dipengaruhi oleh Yunani sebelumnya, Pengaruh Yunani ini berlangsung sampai abad ke-2 SM. Sejarawan Romawi pertama Fabius Pictor (kk. 254 SM) menulis Annals tentang Perang-perang Funisia. Kemudian sejarawan Romawi pertama yang menulis Origins dalam bahasa Latin ialah Cato (kk. 234-149 SM) mengenai sejarah Roma menurut tafsirannya yang diwarnai prasangka patriotis dan aristokratis. (Sjamsudin, 2011:11)
Seperti halnya pada zaman Yunani kuno, para sejarawan zaman Romawi sebagian besar sangat menyukai dan menghayati kesusasteraan. Di samping sebagai ahli sastra, mereka adalah pencerita dan sastrawan yang baik sehinga menghasilkan sejarah yang retoris, dramatis dan psikologis. Juga harus dimengerti bahwa penulisan sejarah bukanlah ilmu pengetahuan, tetapi sebagai cabang kesusasteraan yang indah dan berdasarkan sifat yang sedemikian itu, mereka secara mencolok memberi tempat kepada kebudayaan klasik. Seperti pada para ahli sastra yang sesungguhnya, penulis sejarah zaman Romawi ada kebiasaan bahwa publikasi sejarah  didahului atau diawali dengan pembacaan naskah secara terbuka untuk umum. Demikianlah yang juga terjadi pada Herodotus, dan masih tetap terjadi 8 abad kemudian pada sejarawan Ammianus Maecellinus.
Dalam penulisan sejarahnya, sejarawan Romawi biasanya tertarik pada 1 tema, yaitu Roma. Tokoh utama yang mempopulerkan penulisan sejarah Romawi adalah Julius Caesarr (100-44 SM) dan karyanya adalah Commentaries on the Gallic Wars dan Commentaries on the Civil War. Namun dalam hal itu harus diingat, dibandingkan dengan negeri Yunani yang secara politik terbagi menjadi wilayah-wilayah (polis-polis) yang kecil-kecil, Romawi sejak perang Punisia telah berkembang meluas dan relatif mendunia. Dalam ikhtisar dari sejarah Romawi yang berawal dari “absolute” yaitu dengan pendirian kota Roma, tetapi juga dengan perhatian yang besar untuk masa Romawi yang terbaru, bisa ditemukan bentuk-bentuk annalistik (anal) yang luas,  sedangkan  kronikrelatif jarang ditemukan. Ikhtisar itu biasanya berakhir pada zamannya sendiri (si penulis). Sejarah umum yang universal yang tidak hanya dalam kerangka sejarah Romawi hanya  bisa ditemukan pada karya Trogus.Untuk masa-masa yang terbaru Romawi atau kejadian-kejadian pada zamannya para penulis Romawi, banyak ditemukan studi monografi, misalnya memoires (tulisan peringatan) dan historien (cerita yang lebih detail mengenai kejadian-kejadian masa kini) atau  kadang disebut dengan istilah annalen.
Sejarawan Historiogarfi Eropa Kuno
Tokoh Sejarawan Yunani
            Ada beberapa sejarawan Yunani terkemuka, antara lain:
1.      Herodotus (484-425)
Adalah salah satu tokoh sejarawan yang berasal dr yunani,. Herodotus memiliki julukan sebagai “Bapak Sejarah” karena ia adalah sejarawan pertama yang diketahui mengumpulkan bahan-bahannya secara sistematis, menguuji akurasinya sampai batas tertentu, dan menyusunnya dalam bentuk narasi yang terstruktur secara jelas.
Walaupun Herodotus seorang yunani ia tidak dilahirkan di Yunani melainkan lahir di Asia yaitu di Halikarnasus atau sekarang yang disebut Turki. Karya sejarahnya yang terkenal adalah adalah History of the Persian Wars (sejarah perang-perang persia). Dalam tulisaanya ia mencatat bahwa peperangan yang terjadi adalah sebuah pemberontakan antara dua budaya atau peradaban yang berbeda yaitu yunani dan Persia, dalam tulisannya Herodotus mencoba untuk mnyelami kedua kebudayaan tersebut. Meskipun Herodotos menganggap bangsa Persia adalah bangsa barbar yang tidak disukainya. Meski demikian Herodotus mencoba untuk bersikap objektif terhadap tulisannya. hal tersebut dimaksudkan untuk mnghargai peradaban yang dicapai oleh bangsa Persia. Dengan demikian Herodotus dianggap sebagai bapak sejarah dan juga dianggap bapak antropologi.
Herodotus menulis pada abad ke-5 SM pada masa itu sumber penulisan sejarah terbatas pada dokumen karna dokumen yang dimiliki yunani masih sedikit dengan demikian Heredotus tergantung pada tradisi lisan, pestimoni (kesaksian), inskripsi (prasasti) sehingga tingkat akurasinya tinggi dan mengesankan. Tulisannya menarik karna perhatiannya kepada “kemanusiaan yang lebih luas”. Tujuan Heredotus menulis “melestarikan dari kelupaan ingatan atas perbuatan manusia, dan mencegah tindakan-tindakan besar dan indah dari orang-orang yunani “dan bar-bar kehilangan bagian-bagian yang pantas mengenai kemenangan mereka dan mencatat alasan-alasan perselisihan mereka.”
Heredotus memberikan penjelasan-penjelasan yang wajar alami (naturalistik) dari kejadian-kejadian dan mencoba kritis. Tulisan Heredotus jarang merujuk kepada campur tangan ketuhanan (dewa) seperti yang dilakukan Homerus dan kedua eposnya tentang perang-perang troya beberapa abad sebelumnya. Heredotus juga disebut sebagai ‘Bapak Penulisan Prosa’ karena ia sejarawan naratif yang terampil yang sangat menaruh perhatian besar pada orang-orang dan tempat-tempat dari peristiwa sejarah.
Heredotus sebagai seorang yunani yang kritis tampak pada kepeduliannya dalam melakukan inkuiri yang cermat untuk memisahkan kebenaran dari kepalsuan yang meragukan. Metode sejarah lisan sebenarnya telah dimulai oleh Herodotus, karena Heredotus tau nilai dari testimony pertama. Oleh karena itu ia mencari kesaksian-kesaksian yang otentik dan dapat dipercaya.
2.      Thucydides (kk 471-395)
Adalah seorang pensiunan jendral Athena yang dituduh berkhianat karena kegagalan militer. Ia kemudian dibuang dari Athena kk. Tahun 421 SM selama 20 tahun sampai ia mati terbunuh tahu 395 SM. Dalam pengasingannya Thucydides melanjutkan apa yang telah dirintis oleh Herodotus, menulis sejarah The Peloponnesian War (Perang Peloponesia, 431-404 SM) yang isinya mengenai perang saudara di Yunani yaitu antara dua Negara-kota Athena dan Sparta yang dibantu oleh sekutu-sekutu mereka masing-masing pada tahun 431 SM. Karya Thucydides ini merupakan kajian sejarah kontemporer sebagaimana juga sebagian besar dari karya Herodotus. Tulisan itu bertahan lama menjadi standar yang diikuti dalam penulisan sejarah lama. Ia dianggap sebagai sejarawan dalam arti sebenarnya karena ia mencoba mencari sebab-sebab dari peristiwa-peristiwa  sejarah, menekankan ketepatan (akurasi), berusaha seobjektif mungkin, dan mengutamakan kualitas analisis. “Saya (Thucydides) telah menulis karya saya tidak sebagai suatu esai yang akan memperoleh tepuk tangan sebentar, tetapi menjadi suatu milik sepanjang masa.” (Conkin & Stromberg, 1971: 12 Gawronski, 1969: 68
Gaya tulisannya cemerlang. Dalam tulisannya itu ia menyelipkan pidato-pidato yang diucapkan oleh pelaku-pelaku sejarahnya. Praktek penulisan semacam ini menimbulkan tanda tanya besar dan acapkali ditolak oleh sejarawan-sejarawan modern kelak yang dipertanyakan apakah pidato-pidato ini memang benar-benar diucapkan oleh pelaku-pelaku sejarah yang bersangkutan. Akan tetapi Thucydides mengklaim bahwa model keterampilan pidato-pidato itu menambah efek yang esensinya secara literer adalah benar. Dengan cara ini dapat membantunya dalam penelitian mengenai motif-motif dan dilemma-dilema yang dihadapi manusia. Akan tetapi kritik utama terhadapnya karena tekanan yang berlebih-lebihan kepada masalah-masalah politik. Akibatnya, tanpa disadari menjadi suatu pola yang kuat sampai abad ke-19, yaitu dominasi yang kuat isu-isu politik dalam pemulisan sejarah. Hanya saja pemusatan kepada politik ini mempunyai kelebihan juga karena memberikan kesatuan focus tema sejarah.
Tidak kalah penting tekanannya bahwa kajian sejarah berguna untuk menghadapi masa depan dalam masalah-masalah yang sama (sejarah pragmatis). Karya ini adalah anatomi tentang perang dan revolusi, tentanng pecahnya ketertiban internal dan eksternal, ditulis dengan kepercayaan bahwa masa depan manusia dapat mencegah tragedi-tragedi semacam itu jika mereka dapat belajar dari sejarah. Segala intervensi ketuhanan dan peristiwa-peristiwa ajaib tidak terdapat dalam karyanya. Thucydides mengharapkan karyanya “dapat dipertimbangkan berguna oleh mereka yang menginginkan suatu pengetahauan yang tepat dari masa lalu sebagai suatu bantuan untuk menafsirkan masa yang akan datang, yang mana dalam masalah-masalah manusia (human affairs) harusnya mirip jika tidak dapat dikatakan duplikasi dari masa lalu.” Ini yang membuat Thucydides tergolong sejarawan moralis. (Thompson, 1958: 32; Conkin & Stromberg, 1971:13)
Setelah Thucydides terjadi kemunduran dalam historiografi. Mungkin kelemahan teknik sejarah ini karena tekanan Thucydides yang kuat akan kegunaan sehingga penulisan sejarah yunani kehilangan pamornya selama beberapa abad berikutnya. Tulisan-tulisan para sejarawan berikutnya dilakukan pertama-tama untuk mengarjarkan para pembaca prinsip-prinsip moral. Sebab lain karena di Yunani menyusul periode Alexander Agung antara kira-kira tahun 336-323 SM dan Yunani ditaklukan Romawi tahun 146 SM. (Thompson, 1958: 28-33; Barnes, 1963: 29-32; Hoaglind, 1960: 60)
3.      Polybius (kk 198-117 SM)
Adalah seorang Yunani yang memperkenalkan sejarah kepada Romawi. Sejarawan besar Yunani klasik terakhir ini namanya sejajar dengan Herodotus  dan Thucydides. Ia menghidupkan kembali tradisi Herodotus dan Thucydides dalam karyanya mengenai Punic Wars (Perang-perang Funisia, 264-146 SM) yang menekankan bersama-sama ketepatan, objektivitas, dan kegunaan sejarah.
Ia ditangkap tahun 168 SM, dibawa ke Roma, menjadi sahabat dan tutor para pembesar Romawi. Ia yang pertama membawa sastra dan pengetahuan Yunani ke Roma. Ia kagum dengan melesatnya Republik Roma (509-30 SM) sebagai pusat kekuasaan. Peristiwa-peristiwa luar biasa itu merangsangnya mengajukan inkuiri kekuasaan. Polybius menyaksikan kemunculan kekuasaan Romawi dan ia ingin mengetahui mengapa itu bisa terjadi. (Conkin & Stromberg, 1971: 13-14)
Faktor-faktor sebab (causal) itu sangat sulit dijawab dengan tepat dan Polybius tidak dapat dikatakan berhasil menjawabnya. Tetapi penelitiannya mengenai sejarah sangat merangsang dan produktif. Ia penulis sejarah yang termsuk luar biasa, sangat kritis, tidak memihak, mempunyai pengalaman lama dalam pemerintahan. Ia sangat tajam dalam memilih ilustrasi yang tepat dan peristiwa yang penting dan berpengaruh. Meskipun mungkin ia tidak pernah berhasil memecahkan teka-teki mengenai sebab-sebab Romawi muncul sebagai suatu kekuatan yang besar, namun ia mempunyai jawaban terkenal terhadap pertanyaan mengapa Romawi berkembang. Menurutnya karena keserasian dalam konstitusi Romawi yaitu terdapat campuran yang seimbang dalam tipe-tipe pemerintahan klasik yaitu demokrasi, aristokrasi, dan monarki yang memberikan ruang lingkup bagi rakyat biasa, bangsawan, dan raja. Ia percaya keseimbangan ini memungkinkan Romawi menghindari gerak siklus dari monarki ke tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan kekuasaan “kerumunan” (mob) dan kembali lagi kemonarki seperti yang terdapat dalam alam pikiran Yunani bahwa urutan itu dapat dielakan. (Barnes, 1963: 32-34; Conkin & Stromberg, 1971: 13).
Tokoh Sejarawan Romawi
            Ada beberapa sejarawan Romawi terkemuka, antara lain:
1.      Titus Livy (59 SM-17 SM)
Adalah seorang sejarawan nasional Romawi yang paling terkemuk, salah seorang tukang-cerita terbesar. Karyanya merupakan suatu epos terbesar dan bentuk prosa mengenai pertumbuhan romawi sebagai sebuah empirium dunia. Meskipun ia menghargai ketepatan sejarah dalam pemaparannya, namun ia menempatkan ketepatan itu setelah gaya penulisan yang sempurna. Ia terus terang mengagungkan Romawi semangat patriotism. (Barnes, 1963:37-38)
Livy mencatat proses kemunduran Romawi. Pada mulanya menulis mengenai awal Empirium Romawi [30 SM-400 SM/476 M] zaman keemasan Augustus (63 SM-14 M). Tetapi ia menyadari kemerosotan dalam karakter dan instusi-instusi Romawi dan menulis sebagian untuk menghidupkan kembali moral untuk menunjukan kepada orang-orang Romawi peninggalan bahan yang telah dibuat oleh nenek moyang mereka.
Livy kurang dapat disebut sejarwan karena sebagian ia tidak sanggup mendapatkan sumber-sumber dokumen. Ia mensuplai legenda-legenda tentang sejarah awal Roma. Tetapi ia seorang Stylist berbakat, ia mencari penjelasan-penjelasan dan sangat hormat pada masa lalu. Jelas hanya livy luas dibaca dan memainkan peranan penting dalam menemukan kembali moral sementara zaman Augustus yang juga disumbangkan oleh Virgil dalam Aeneid. Point-point ini adalah  mengenai fungsi-fungsi praktis sejarah: Kabanggaan pada ras, bangsa, dan kelempoknya. Perlu juga dicatat  bahwa unifikasi Romawi atas dunia lama (ancient world) membuat Livy mempunyai perspektif global, melihat berbagai sejarah local sebagai bagian dari satu arus. (Thompson 1958: 73-78; Barnes 1963: 37-38; Conkin & Stromberg, 1971: 14).  
2.      Tacitus (kk 55-120 M)
Tokoh besar lainnya dalam historiografi Romawi ialah Tacitus yang meninggal kira-kira sekitar tahun 120 M. ia menulis antara tahun 85 sampai dengan 115 ketika empirium mencapai puncak kekuasaan dan kejayaan tetapi sudah mulai dengan proses kemunduran dari dalam. Ini dapat diketahui dari pergantian kaisar yang sering kali.
Dengan menggunakan teknik-teknik ilmiah yang dicontohkan oleh Polybius, Tacitus dalam karya-karyanya yang terkenal Annals dan Histories mencoba memberikan cerita yang tidak memihak mengenai keruntuhan kebesaran Romawi. Namun pemihakan (bias) pribadinya jelas. Kekuatannya yang sesungguhnya ialah dalam kemampuannya menganalisis intrik politik yang menjadi karakter zamannya. Karya lainnya, lebih sosiologis daripada historis, ialah Germania, Tacitus memberikan kepada dunia keterangan tentang gerakan bangsa Teuton ke dalam imperium Romawi. Pujiannya kepada orang-orang barbar yang tidak korup ini terkandung kritik terhadap peradabannya sendiri.
Tacitus adalah sejarawan moralis (moralizing historian), terkenal dengan ucapannya : “Fungsi sejarah tertinggi adalah untuk menjamin bahwa aksi-aksi mulia harus dicatat dan bahwa kata-kata dan perbuatan-perbuatan jahat (evil) diperlihatkan untuk dikutuk oleh keturunan.” (Conkin & Stromberg, 1971:15)      
Kelemahan Historiografi Eropa Kuno

         Setiap karya manusia di dunia pastilah punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Khusus untuk Historiografi Eropa Kuno, Sjamsudin (2011:13) dalam diktatnya memaparkan kekurangan atau kelemahan pada Historiografi Eropa Kuno, yaitu:
1.    Meskipun terdapat beberapa perkembangan dibuat dalam penulisan dan teknik penulisan sejarah, dan sebagian besar sejarawan telah mencoba akurat dan objektif dalam karya-karya mereka, namun ada kekurangan utama para sejarawan ialah mereka sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya mereka sendiri. Pengaruh dewa-dewa, mitos, dan legenda yang tidak didokumentasi terus-menerus menyusup dalam tulisan-tulisan mereka. Meskipun demikian, aspek-aspek dasar dari penulisan  sejarah yang ketat telah diletakkan. Ini akan menjadi lebih sempurna pada saatnya kelak.
2.      Ruang lingkup sempit. Mereka secara eksklusif menulis sejarah politik, khusus pada zaman mereka sendiri, atau tidak jauh pada saat itu. Alasan terutama pada hakekat materi yang dapat mereka peroleh dari sumber-sumber. Livy tergantung pada legenda-legenda tentang awal berdirinya Roma karena hanya sedikit dokumen yang tinggal. Thucydides tergantung pada wawancara saksi hidup. Sedikit koleksi manuskrip dalam arsip, tidak ada majalah atau pakar. Ini menurut standard modern yang membatasi ruang lingkup sejarawan-sejarawan kuno dalam waktu dan materi sejarah.
3.      Sejarah dianggap sebagai subjek praktis; berfungsi ”sejarah didaktik” (didactic history) dan ajaran moral dari contoh-contoh kehidupan. Menurut definisi terkenal dari Cicero (106-43 SM), sejarah adalah ”sinar kebenaran, saksi waktu, guru kehidupan.” ini merefleksikan kepercayaan kuno yang amat berharga dan amat diyakini bahwa sejarawan tidak boleh berat sebelah, tidak boleh memihak, dan kritis. ”Hukum sejarah yang pertama ialah sejarawan tidak boleh takut mengatakan sesuatu kecuali kebenaran; kedua ia harus berani mengatakan seluruh kebenaran,” kata Cicero. Selanjutnya Cicero merangkum semua pikiran klasik tentang sejarah. Kita mencari kebenaran; kita melestarikan yang terbaik dari masa lalu untuk membentuk peradaban; kita mengambil keuntungan dari ”pelajaran-pelajaran” masa lalu
4.       Karya-karya sejarah cenderung retoris dan bombastis; fungsinya mengajarkan filsafat moral dengan contoh. Thucydides dalam tulisannya menyelipkan orasi-orasi imajiner.
(Sjamsudin, 2011:13)

Selain kekurangan yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa kekurangan yang lainnya, diantaranya yaitu nilai berat sebelah itu tetap ada walaupun sudah diusahakan seobjektif mungkin. Hal ini bisa dilihat dalam karya Thucydides, dia adalah seorang jenderal perang Athena. Dalam perang Peloponesia ini Athena mendapatkan kemenangan, sehingga mau tidak mau rasa berat sebelah itu akan muncul. Begitu pula dalam karya Herodotus, dia sangat mengagung-agungkan kebudayaan Yunani dan menganggap kebudayaan Parsi (Timur) sebagai kebudayaan yang terbelakang. Selain itu karya Herodotus walaupun menggunakan sumber dari kedua  belah pihak, dalam tulisannya masih saja terdapat unsur supernatural, sehingga membuat nilai dari karyanya ini tidak sempurna. Sedangkan dalam karya Titus dia menggunakan daya imajinatif, adanya pengorbanan kebenaran sejarah demi sebuah retorika.


DAFTAR PUSTAKA
 
Barnes, Harry Elmer. (1963). A History of Historical Writing, New York: Dover Publications, Inc.
Gawronski, Donald V. (1969). History: Meaning and Method. Glenview, Illnois: Scott, Foresman and Company.
Conkin, Paul & Stromberg, Roland N. 1971. The Heritage and Challenge of History. New York: Dodd, Mead & Company.
Sjamsuddin, Helius. (2011). Perkembangan Historiografi. Draft Bahan Kuliah Program Pendidikan Sejarah S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.
Supriyono, Agust. (2003). Historiografi Eropa Barat; Kuno, Abad Tengah & Modern. Diktat Bahan Kuliah Historiografi Umum Jurusan Sejarah Universitas Diponegoro. Tidak diterbitkan
Tompson, James Westfall. (1958). A History of Historical Writting, 2 Jilid. New York: The Macmillan.

0 comments:

Post a Comment