Penulis : Nina H Lubis
Kata
Pengantar : Taufik Abdullah
Penerjemah : Drs. Azmi, MA., Ph.D dan
Drs. Zulfahmi, Dipl. I. T.Ed
Penerbit : Pustaka LP3S Indonesia
Tahun
Terbit : 2004
Tempat
Terbit : Jakarta
2. Biografi
Penulis
Nina Herlina Lubis adalah seorang doktor sejarah di
Jawa Barat dan dilahirkan di Bandung 9 September 1956. Ia mengenyam pendidikan
pertama kali di Sekolah Dasar Negeri Cibuntu Bandung (1968), Sekolah Menengah
Pertama Negeri I bandung (1971), dan Sekolah Menengah Negeri 3 Bandung (1974).
Setamat SMA, ia melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (1975), tetapi ia
tidak betah kuliah di sana dan pindah ke Jurusan Sejarah yang memang menjadi
impiannya. Mula-mula ia kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Sumatra Utara (1978-1980), kemudian diselesaikan di Universitas Padjajaran
Bandung (1984). Program S-2 Bidang Studi Sejarah diselesaikannya di Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta selama 4 semester dengan yudisium cum laude (1990)
dengan tesis yang berjudul Bupati R.A.A. Martanagara; Studi Kasus Elite
Birokrasi Pribumi di Kabupaten Bandung (1893-1918) yang sudah diterbitkan
sebagai buku (2001). Gelar Doktor Sejarah diperolehnya dari Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta (1997) dengan predikat cum laude. Disertasinya yang berjudul
Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1942) sudah diterbitkan menjadi buku
(1998). Bukunya yang lain adalah Historiografi Barat (1999). Tradisi dan
Transformasi Sejarah Sunda (2000), serta Sejarah Kot-Kota Lama di Jawa Barat
(editor dan penulis) (2000), Sejarah dan Budaya Politik (2002). Saat ini Nina
bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan di Program
Pasca Sarjana Unpad, dan menjadi Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia cabang
Jawa Barat (2000-sekarang). Sejak Februari 2001, ia manjadi Kepala Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad. Selain itu,
ia juga menjadi Ketua Majelis Taklim Riyaadlul-Jannah yang juga mengelola panti
asuhan di Jatinangor.
3. Isi
Buku
Buku ini menjelaskan tentang sejarah Banten sejak
masa pra sejarah hingga terbentuknya provinsi Banten dengan menitikberatkan pada sisi politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu dijelaskan pula tentang peranan Sultan,
Ulama, dan Jawara pada kehidupan masyarakat Banten. Alasan penulis tertarik
mangangkat Sejarah Banten sebagai objek penulisannya karena Banten merupakan
salah satu wilayah di Indonesia yang memilikik sejarah yang panjang dan
mempunyai pengaruh pada perkembangan sejarah Indonesia. Banten pada masa lalu
merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan
masyarakat yang terbuka dan makmur. Diawali dengan penguasaan Kota Pelabuhan
Banten, yang dilanjutkan dengan merebut Banten Girang dari Pucuk Umun pada
tahun 1527, Maulana Hasanuddin, mendirikan Kesultanan Banten di wilayah bekas
Banten Girang. Pada tahun 1579, Maulana Yusuf, penerus Maulana Hasanuddin,
menghancurkan Pakuan Pajajaran, ibu kota atau pakuan (berasal dari kata
pakuwuan) Kerajaan Sunda. Dengan demikian pemerintahan di Jawa Barat dilanjutkan
oleh Kesultanan Banten. Pada awal abad
ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur
perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan
kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah
kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Lampung.
Jadi, Banten kaya sekali akan sejarahnya dan sempat
menjadi salah satu kota pelabuhan di Indonesia. Dalam perlawanan terhadap
tentara Belanda pun, Banten ikut terlibat dimana pada masa Sultan Ageng
Tirtayasa, pihak tentara Belanda mengakui kegigihan dan keberaniaannya dalam
usaha mempertahankan Wilayah Banten. Karena memang susah dikalahkan maka
Belanda pun menggunakan politik adu domba untuk mengalahkan Sultan Ageng
Tirtayasa. Selain itu, ada juga bentuk perlawanan terhadap tentara Jepang yang
dipimpin oleh Ce Mamat.
Tema buku ini adalah penggambaran secara keseluruhan
mengenai sejarah Banten dari awal prasejarah hingga terbentuknya provinsi
Banten. Selain itu, diungkapkan pula mengenai keterhubungan peran sultan,
ulama, dan jawara yang sangat penting pada saat itu bagi kehidupan masyarakat
Banten.Buku ini terdiri dari 10 bagian yaitu:
Bagian 1: Masa Prasejarah
Berisi tentang budaya prasejarah
dengan diawali masa berburu dan mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam,
budaya megalitik, tradisi gerabah dan masa perundagian. Jadi, pada bab ini
dijelaskan peninggalan masa prasejarah di berbagai tempat di wilayah Banten
dengan dipaparkan pula bukti yang ada. Contohnya Di Cigeulis, Pandeglang telah
ditemukan kapak perimbas, alat penetak, pembelah, dan alat serpih. Di samping
itu ditemukan pula lukisan gua di Sanghiyang Sirah, Ujung Kulon. Hal Ini
menunjukkan bahwa manusia waktu itu hidup di gua-gua. Pada tahap akhir dari
kehidupan masa berburu dan mengumpulkan makanan itu, memang diasumsikan orang
sudah mulai hidup di gua-gua walaupun tidak tetap. Gua-gua tempat tinggal
sementara itu biasanya berada tidak jauh dari danau atau aliran sungai yang
memiliki sumber-sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput
Bagian 2: Masa Hindu-Budha
Berisi tentang kehidupan pada masa
sebelum adanya Kerajaan Tarumanegara, selanjutnya pada masa Kerajaan
Tarumanegara, dan ditutup pada masa Kerajaan Sunda. Sumber asing pertama yang
secara samar-samar berkaitan dengan Banten adalah sumber tertulis yang berasal
dari Yunani, yaitu Geogyaphike Hyphegesis karya Claudius Ptolemaeus. Dalam
sumber ini disebutkan tentang sebuah tempat bernama Argyre yang terletak di
ujung labadiou. Istilah labadiou dalam bahasa Sanskerta adalah Yawadwipa
yang berarti 'pulau jelai'. Yawadwipa itu dianggap sama dengan Jawa; dan karena
aygyre berarti `perak', sementara di ujung barat Pulau Jawa terletak sebuah
kota bernama Merak, biasanya Merak itulah yang dimaksudkan dengan argyre dalam
berita Yunani itu. jika dugaan itu benar, maka seharusnya dilakukan koreksi
atas nama kola itu, bukan merak yang berarti ‘burung merak', melainkan merak
yang berarti 'memerak, putih seperti perak'. Dijelaskan pula tentang berita Cina
yang mengabarkan tentang adanya kerajaan Tarumanegara. Selain itu, dijelaskan
pula mengenai peninggalan-peninggalan dari kerajaan Tarumanegara dan Sunda.
Bagian 3: Kesultanan Banten
Membahas tentang Awal Berdirinya kesultanan Banten.
Dalam laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah
kota pelabuhan yang ramai dan berada di kawasan Kerajaan Sunda (Cortesao,1944).
Kesaksian Tome Pires itu dapat dijadikan petunjuk bahwa bandar Banten sudah
berperan sebelum berdirinya Kesultanan Banten (1526), atau pada masa Kerajaan
Sunda. Bisa diduga bahwa Banten telah berdiri sekurang-kurangnya pada
pertengahan abad kesepuluh atau bahkan abad ke-7. Selanjutnya dibahas mengenai
sultan yang memimpin pada masa kesultanan Banten, yaitu: Sultan Maulana
Hasanudin (1552-1570), Maulana Yusuf (1570-1580), Maulana Muhammad (1580-1596),
dan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1652). Pada bab ini sangat kompleks sekali,
dimana dijelaskan tentang kemajuan dan kemunduran kesultanan Banten, adanya
konflik dengan Mataram dan VOC, hingga kisah politik adu domba VOC terhadap
Sultan Ageng Tirtayasa.
Bagian 4: Banten dan Kompeni
Membahas tentang ekspedisi dagang kompeni, politik
kompeni, reaksi Banten, Perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, kehidupan
perekonomian, penanaman wajib komoditas perdagangan, kehidupan sosial budaya,
demografi, dan stratifikasi sosial, kehidupan agama dan kepercayaan, dan
bahasa, tulisan dan kesusatraan. Jadi, pada bab ini lebih memfokuskan keadaan
Banten pada saat itu dengan diawali datangnya pedagang asing selain dari
Belanda yaitu: Inggris, Perancis, Portugis, dan Denmark ke Banten. Selanjutnya
memaparkan tentangkehidupan masyarakat Banten dan perlawanannya terhadap VOC
Bagian 5 : Keresahan Abad Ke-19
Membahas tentang pemerintahan Kesultanan akhir abad
ke-18, perubahan politik dan sistem kolonial, kesultanan Banten menjadi daerah
jajahan, kehidupan perekonomian, gerakan sosial di Banten yang terdiri dari
gerakan di Cikandi Udik (1845), gerakan di
Ciomas (1886), dan gerakan di Cilegon (1888), kehidupan sosial budaya
pendidikan, dan munculnya jawara. Khusus pembahasan pada materi yang terakhir
ini, dalam perkembangannya kemudian, kata "jawara" (juara) lalu
dikonotasikan negatif, misalnya disebut sebagai singkatan dari "jalma wani
rampog" (orang yang berani merampok) atau "jalma wani rahul"
(orang berani bohong, menipu) (Kartodirdjo, 1984:43). Bahwa citra ini terus
terbawa hingga abad ke-20, dapat dilihat dalam memorie van overgave (memori
serah jabatan) Residen Banten, F.G. Putman Craemer, 24 Februari 1931, yang
melaporkan bahwa golongan jawara berasal dari apa yang disebut orok lanjang
yang ada di Distrik Menes. Orok lanjang adalah organisasi pemuda yang tadinya
bertujuan tolong-menolong, misalnya bila ada orang mengadakan hajatan, mereka
membantu penyelenggaraannya. Lama-kelamaan, bila ada orang menyelenggarakan
hajatan, mereka harus diundang dan diserahi tugas penyelenggaraannya. Bila
tidak demikian, mereka akan mengacau pesta. Organisasi semacam ini kemudian
meluas ke luar Menes dan menjadi organisasi tukang pukul yang disebut jawara.
Mereka menjadi kelompok yang ditakuti masyarakat, kaum pangreh praja pun tidak
berani bertindak keras terhadap mereka. Menurut Residen Banten ini, sejak tahun
1916, para pejabat pangreh praja bila datang ke pesta mesti membawa senjata api
karena takut diganggu mereka. Akibatnya, etos "kejuangan, membela
kebenaran, kepahlawanan", yang sebenarnya dimiliki kaum “jawara"
terkontaminasi dengan etos "premanisme”. Seorang jawara yang kemudian
memdalami agama disebut jawara ulama, sedangkan ulama yang merangkap menjadi
jawara, kemudian disebut ulama jawara. Tokoh-tokoh semacam inilah yang disegani
masyarakat sehingga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Kepemimpinan
didasarkan atas consensus di antara para jawara. Umumnya senioritas menentukan
siapa yang akan menjadi "yang dituakan" atau "kokolot"
Bagian 6: Dinamika awal abad ke-20
Membahas tentang politik etis, otonomi
pemerintahan, perkembangan pemerintahan otonom, pergerakan nasional, dan
pergerakan pers. Dijelaskan pula mengenai sekolah pertama yang didirikan di
Serang sekitar tahun 1907. Selanjutnya dijelaskan pula mengenai karesidenan
Banten, Batavia, Cirebon, dan Priangan. Pada masa pergerakan nasional Pada
tahun 1928, para pemuda Banten mendirikan organisasi kepemudaan di Batavia,
yang dinamai Budi Banten, dan di Bandung didirikan pula organisasi sejenis yang
disebut Tirtayasa. Antara bulan Februari hingga Mei 1940, pemerintah Hindia
Belanda mematahkan gerakan kaum jawara yang terdiri dari 175 orang. Maksud gerakan
mereka adalah untuk mengembangkan organisasi jawara yang oleh pemerintah
kolonial dianggap sebagai kelompok perusuh. Selanjutnya ditutup dengan sejarah
pers di Banten.
Bagian 7: Pendudukan
Jepang
Membahas tentang masuknya tentara Jepang
di daerah Banten, kehidupan sosial-budaya dan ekonomi, organisasi semimiliter
dan kepemudaan, lahirnya PETA. Secara keseluruhan bab ini menjelaskan kedudukan
dan peran Jepang pada masyarakat Bante. Selain itu, dijelaskan pula mengenai
usaha perlawanan yang dilakukan oleh Ce Mamat dengan gerakan bawah tanahnya
yang bernama Joyo Boyo. Tetapi, pada akhir tahun 1943 gerakan tersebut tercium
pemerintah militer Jepang. Ce Mamat ditangkap dan dijebloskan ke penjara
bersama dengan beberapa temannya. la dikurung dan disiksa di Markas Kempetai di
Serang. Dari sana ia dipindahkan ke Markas Kempetai Pusat di Tanah Abang
Jakarta dan baru dibebaskan beberapa hari setelah Indonesia merdeka. Dua orang
lainnya yaitu H. Sinting dari Kaujon Serang (mantan Digulis) dan Hidayat
meninggal dunia di penjara. Pengalaman buruk yang dialami Ce Mamat, ternyata
menimbulkan dendam dan kebencian yang dalam bukan hanya terhadap orang-orang
Jepang, melainkan juga kepada para pejabat dan polisi orang Indonesia yang
dianggap kaki-tangan Jepang
Bagian 8: Di Tengah
Gejolak Revolusi
Membahas tentang proklamasi kemerdekaan,
berdirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR), pemberontakan Ce Mamat, menjelang
agresi militer, pemerintahan kaum Ulama, dan masyarakat Banten di tengah
revolusi. Pada bab ini dijelaskan pula mengenai peran ulama pada pemerintahan
di Banten. K H Acmad Chotib pada saat itu menjabat sebagai Residen Banten dan
pada masa kepemimpinannya, NICA menghembuskan isu seakan-akan Kesultanan Banten
akan dihidupkan kembali dengan Residen Banten sebagai sultannya. Isu ini
dibantah oleh K.H. Achmad Chatib ketika ia berkunjung ke Yogyakarta. Untuk
membatasi ruang gerak Residen Banten, maka diangkatlah Mas Yusuf Adiwinata
sebagai wakil Gubernur Jawa Barat yang berkedudukan di Serang. Selain itu, para
kiai perlahan-lahan digeser ke jawatan yang berkaitan dengan keahlian mereka
seperti Jawatan Keagamaan dan Jawatan Penerangan. Beberapa pejabat profesional
dikirim pula oleh pemerintah pusat. Sementara itu, Kolonel Soekanda
Bratamanggala dikirim ke Banten menggantikan Kolonel K.H. Syam'un yang menjadi
Bupati Serang.
Bagian 9: Proses Menuju
Provinsi
Membahas tentang kondisi politik tahun
1990-an, embrio gerakan, langkah awal, lahirnya orde baru, dan peluang baru.
Pada tahun 1953, untuk pertamakalinya dimunculkan keinginan masyarakat Banten
untuk meningkatkan status wilayahnya dari Karesidenan menjadi provinsi sendiri
yang terpisah dari Jawa Barat. Keinginan ini muncul berkaitan dengan
diberikannya status Daerah Istimewa Yogyakarta dan munculnya tuntutan yang sama
dari Aceh. Masyarakat Banten merasa bahwa Banten juga memiliki keistimewaan,
yaitu tidak pernah menyerah kepada Belanda, pernah berdiri sendiri karena
diblokade Belanda sampai mengeluarkan mata uang sendiri pada tahun 1949. Hanya
saja keinginan ini tidak mendapat tanggapan serius. Selanjutnya pada tahun
1963, Bupati Serang, Gogo Sandjadirdja, mengadakan acara halal-bilhalal dengan
tokoh-tokoh masyarakat Banten di Pendopo Kabupaten Serang. Tokoh-tokoh yang
datang bukan saja dari Banten., tetapi juga dari daerah Jasinga-Bogor. Setelah
acara halal-bilhalal usai, dilanjutkan dengan rapat. Dalam rapat itulah untuk
pertama kalinya dicetuskan gagasan tentang perlunya Karesidenan Banten menjadi
provinsi sendiri. Gagasan ini kemudian diwujudkan dengan membentuk Panitia "Pembentukan
Provinsi Banten" (PPB).
Bagian 10:Pembentukan
Provinsi Banten
Berisi tentang lahirnya orde reformasi,
berdirinya Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten (Bakor-PPB), sikap
pemerintah provinsi Jawa Barat, dan terakhir lahirnya Provinsi Banten. Jadi,
secara keseluruhan Pada bab ini dijelaskan mengenai perjuangan tokoh-tokoh
Banten dalam membentuk provinsi Banten.
Isu tentang Provinsi Banten terus bergema. Para tokoh Banten berusaha
mendapatkan dukungan dari Mendagri. Kelompok Jakarta dan para tokoh Banten
lainnya mendapat kesempatan untuk bertemu Mendagri Suryadi Sudirja, setelah
Menteri meresmikan pameran lukisan di Hotel Bidakara, Jakarta pada tanggal 3
Desember 2000. Dalam pertemuan yang dilakukan di restoran hotel tersebut, para
tokoh Banten yang hadir adalah Tb. Farich Nahril, H. Mardini, H.Uwes Qorny,
K.H. Irsyad Djuwaeli, Aly Yahya, HMA Tihami, dan H. Tb.Chasan Sochib. Mendagri
memberikan saran bila rakyat Banten memang sudah bulat keinginannya untuk
mendirikan provinsi sendiri, agar ditempuh cara-cara sesuai prosedur yang
berlaku. Isu PPB terus bergulir dalam berbagai pertemuan formal maupun informal
seperti pengajian, training pangkaderan aktivis, dalam seminar, diskusi serta
pertemuan para ulama dan berbagai kalangan lain. Pada hari Rabu, 4 Oktober
2000, ribuan masyarakat Banten, mulai dari ulama, mahasiswa, anggota LSM,
seniman, memadati halaman Gedung DPR RI Senayan. Berbagai atraksi pertunjukan
tradisional Banten, seperti debus, silat, rebana digelar di Jakarta yang cerah.
Suasana meriah di luar gedung diimbangj dengan suasana serius di dalam gedung.
DPR RI hari itu mengadakan Rapat Paripurna yang ditunggu-tunggu masyarakat
Banten. Setelah mendengarkan pandangan akhir dari fraksi-fraksi yang ada, maka
rapat yang berlangsung dari pukul 9.00 berakhir pukul 13.30 dengan puncak acara
pengesahan RUU Pembentukan Provinsi Banten menjadi Undang-Undang no 23 tahun
2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten. Semua fraksi DPR RI menyetujui secara
bulat pengesahan itu.
4.
Sumber
Data
Secara
umum dapat dimengerti bahwa penelitian sejarah merupakan penelaahan serta
sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan
secara sistematis. Dengan kata lain yaitu penelitian yang bertugas
mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi pada waktu penelitian
dilakukan. Penelitian sejarah di dalam pendidikan merupakan penelitian yang
sangat penting atas dasar beberapa alasan. Penelitian sejarah bermaksud membuat
rekontruksi masa latihan secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan,
mengevaluasi, mengverifikasikan serta mensintesiskan bukti-bukti untuk
mendukung bukti-bukti untuk mendukung fakta memperoleh kesimpulan yang kuat.
Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia, peristiwa,
waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-sepotong
objek-objek yang diobservasi. Dengan begitu, diperlukan sumber sejarah dalam
melakukan kajian ilmu sejarah.
Buku ini menggunakan sumber data berupa arsip –
arsip dan wawancara (Primer). Tetapi sumber primer tersebut hanya dituliskan di
catatan kaki setiap halaman pembahasan. Contoh sumber primer tersebut yang terdapat di dalam buku ini adalah:
Sumber wawancara:
1.
Wawancara dengan Tb. H,Farich Nahril, tanggal 19 Agustus 2003
2.
Wawancara dengan Tb.H. Tryana Sjam un, tanggal 19 Agustus 2003
Sumber Arsip
1. ANRI,1988.
2. Gedenkboek Pagoejoeban Pasoendan, t.t.
3. Daghregister, 2 Juli 1641.
4. 25 Oktober 1677,
5. Daghregister, 5 Oktober 1705.
6. Handboek Indanesische Onderwijzers
Bond. 1942.
7. Indonesia. Arsip Nasional.1973.
8.Ikhtisar Keadaan Politik Hindia‑Belanda
Tahun 1839‑1848, Penerbitan Sumber-sumber Sejarah No.5. Jakarta.
9. "Ondezoek naar mindere welvaart
der Inlandsche bevolking van Java en Madoera, Deel 1X b3,1914.
10. RegeringsAlmanak voorNederlandsch‑Indie.1905.
11. RegeringsAlmanak voor Nederlandsch
Indie.1921.
12. RegeringsAlmanak voorNederlandsch
Indie.1928.
13. RegeringsAlmanak voorNederlandsch‑Indie.1928.
14. Volksalmanak Soenda,1919
Surat Kabar dan Majalah
1. Asia Raja, 9 Juli 1942,1 Pebruari
1943.
2. Forum Keadilan. Nomor 5. Tahun VII. 15
Juni 1998; Maret 2000.
3. Kenpo,1942, No. 28, 2603.
4. Kompas. 26 Mei 1998; 29 Mei 1998; 30
Mei 1998; 26 Oktober 2000.
5. Pandji Poestaka 2,11 April 1942.
6. Pikiran Rakjat, 19Agustus 1999, 20
Agustus 1999, 30 Oktober 1999, 21 Desember 1999, 23 Desember 1999, 4 Maret
2000, 23 Maret 2000,15 Mei 2000.
7. Priangan Shuu, 20 Agustus 2605.
8. Republika,ll Oktober 2000.
9. Soeara Merdeka, 6 Oktober 1945, 9
Oktober 1945.
10. Tjahaja,16 Juni 1942, 20 Juli 1942,
,16 Oktober 1943, 23 Agustus 1945
11. Warta Bandung, 2 Januari 1957.
12. Warta Propinsi Banten, Edisi I/2000,
Edisi 11/2000.
Untuk
sumber sekunder berupa buku baik
terbitan dalam dan luar negeri, ada juga berupa jurnal, artikel, dan tesis
serta disertasi.
5.
Kajian
Kritis Metodologi
Sebelum melakukan penelitian sejarah, langkah
pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan topik yang akan diteliti. Topik
yang diteliti haruslah merupakan topik yang layak untuk dijadikan bahan penelitian
dan bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian sebelumnya.
Kelayakan topik penelitian dapat dilihat dari ketersediaan sumber yang dapat
dijadikan bahan untuk penelitian. Jangan sampai kita menetapkan topik yang
menarik tetapi sumbernya ternyata tidak ada. Berbeda dengan penelitian ilmu
pengetahuan lainnya, penelitian sejarah sangat tergantung kepada ketersedian
sumber. Jadi topik yang diteliti harus merupakan hal yang baru dan diharapkan
dapat memberikan informasi yang baru atau ditemukan teori baru.
Pemilihan
topik harus memperhatikan hal-hal berikut :
1.
Menarik untuk diteliti
2.
Asli, bukan merupakan pengulangan
3.
Ketersediaan sumber
4.
Kedekatan emosional, misalnya yang berhubungan dengan lingkungan sekitar kita
Pemilihan
topik ini sangat penting agar peneliti lebih terarah dan terfokus pada
masalahnya. Untuk mengarahkan, dalam topik tersebut sebaiknya kita ajukan
terlebih dahulu pertanyaan yang akan menjadi masalah yang akan diteliti.
Pertanyaan itu meliputi: what (apa), why (mengapa), who (siapa), where
(dimana), when (kapan), dan how (bagaimana).
Kuntowijoyo dalam bukunya Pengantar Ilmu
1. Pemilihan Topik.
Dalam memilih topik penelitian, sebaiknya
berdasarkan: (1) kedekatan emosional dan (2) kedekatan Intelektual. Kedekatan
emosional maksudnya adalah bahwa topik yang kita pilih dalam melakukan
penelitian adalah topik yang kita senangi. Sedangkan yang dimaksud dengan
kedekatan intelektual adalah kita telah menguasai topik yang kita pilih,
kalaupun belum menguasainya maka kita perlu membaca literature yang berkaitan
dengan topic pilihan kita.
2. Pengumpulan Sumber.
Sumber yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis
sejarah yang akan tulis. Misalnya, kita sedang melakukan penelitian sejarah
sebuah keluarga maka sumber yang kita gunakan berupa sumber tertulis, tidak
tertulis dan sumber kuantitatif.
Sumber
3. Verifikasi.
Setelah kita mengetahui secara persis topik kita dan
sumber sudah dikumpulkan, maka tahap berikutnya ialah verifikasi, atau kritik
sejarah, atau keabsahan sumber. Verifikasi itu ada dua macam: otentisitas, atau
keaslian sumber, atau kritik ekstern, dan kredibilitas, atau kebisaan
dipercayai, atau kritik intern.
4. Interpretasi.
Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai
biang subyektivitas. Subyektivitas penulis sejarah diakui keberadaannya.
Interpretasi itu ada dua macam, yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti
menguraikan. Kadang-kadang sebuah sumber mengandung beberapa kemungkinan.
Misalnya, kita temukan daftar pengurus suatu ormas di kota. Dari kelompok
sosialnya, kita baca di situ ada petani bertanah, pedagang, pegawai negeri,
petani tak bertanah, orang swasta, guru, tukang, mandor, kita dapat
menyimpulkan bahwa ormas itu terbuka untuk semua orang. Jadi bukan khusus
petani bertanah, tetapi juga untuk petani tak bertanah, pedagang, pegawai
negeri, dan sebagainya. Setelah anaisis itu kita temukan fakta bahwa pada tahun
itu ormas tertentu bersifat terbuka berdasarkan data yang kita peroleh dan kita
cantumkan. Sintesis berarti menyatukan. Setelah ada data tentang pertempuran,
rapat-rapat, moilisasi massa, penggantian pejabat, pembunuhan, orang-orang
mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera, ditemukan fakta bahwa telah
terjadi revolusi. Jadi, revolusi adalah hasil interpretasi setelah data-data
dikelompokkan menjadi satu.
5. Penulisan.
Dalam penulisan sejarah aspek kronologi sangat
penting. Setiap periode harus ada driving force masing-masing. Misalnya,
peranan pendidikan untuk periode pertama, peranan organisasi politik untuk
periode kedua, peranan miter untuk periode ketiga, dan peranan organisasi
ekonomi untuk periode keempat.
Penulisan sejarah hanya merekam
sebagian kecil peristiwa yang dialami manusia. Karenanya, peristiwa sejarah
terbagi menjadi dua : sejarah sebagai peristiwa itu sendiri (objektif) dan
sejarah sebagai peristiwa yang dikisahkan oleh sejarawan (subjektif). Bila kita
telusuri tulisan-tulisan sejarah, maka kita akan menemukan tiga aspek yang
menonjol dalam sejarah yaitu sosial, ekonomi dan politik. Aspek sosial dalam
sejarah pasti ditemukan karena objek dan subjek sejarah adalah manusia, sejarah
adalah berkenaan dengan hidup dan kehidupan manusia, perkembangan peradaban
manusia. Hidup manusia tidak terlepas dari Struggle of life upaya
mempertahankan hidup maka yang muncul dalam sejarah adalah aspek ekonomi,
karena ekonomi memberikan peran penting bagi keberlangsungan hidup manusia.
Seperti
halnya, pada buku yang ditulis oleh Nina H Lubis ini dimana mencakup ketiga hal
tersebut, yaitu politik, sosial, dan ekonomi. Dalam buku ini pun pemaparannya
sangat bagus sekali karena dijelaskannya secara deskriptif-kronologis. Jadi
pembaca paham dengan apa yang dimaksud penulis. Selain itu, sumber-sumber yang
dipakai pun sangat relevan dan mendukung terhadap penelitian ini. Hanya saja dalam buku ini kurang terdukungnya dengan teori yang
dijadikan sebagai landasan.